puisi.......seabad cerita RAKYAT.......
Berawal dari seratus tahun Hari Kebangkitan Nasional.
Aku seorang rakyat jelata yang terlunta-lunta di negeri tempat kelahiranku. Gubukku berlantai tanah, berdinding dus-dus bekas, dengan asesoris interior bekas kertas kantong semen yang kutempel menutupi lubang-lubang dus yang sudah lapuk dan usang.
Itu pun....... entah tanah siapa.............
Bila ada kelompok manusia lain seraya mengemban instruksi kebijakan publik untuk menggusur tempatku dan mengusir Aku. Lalu... aku pun hijrah dari tempat kenangan mimpi buruk yang satu, ke tempat kenangan yang semakin buruk lainnya....dan begitulah seterusnya...
Entah sampai kapan Aku, istriku dan ke tiga anak-anakku yang masih kecil-kecil dan sedang memasuki usia sekolah, harus terus menerus hijrah, bila datang instruksi dari suatu kebijakan publik, yang bagaikan mesin-mesin pemburu.
Aparatur pemerintahan dalam mensejahterakan rakyat di negeri ini hanya mampu mengusir Aku seraya menghancurkan gubukku. Aku pun terusir beserta orang-orang yang senasib denganku, bahkan mungkin mereka jauh lebih menderita lagi dari Aku.
Aku seperti layaknya terdampar di planit bumi yang makhluk hidupnya terdiri dari tumbuhan, hewan, dan manusia, dan di antara semua makhluk hidup di planit bumi ini, yang paling serakah serta melebihi keganasan binatang buas sekalipun, adalah makhluk yang bernama manusia.
Makhluk manusia yang berperan dalam kancah politik negara sebagai orang-orang besar, serta tinggi kedudukannya, dengan kekayaan yang melebihi kelayakan, mereka masih tergiur dengan setetes madu azab hukum Allah, yaitu yang namanya korupsi, yang dipersonifikasikan sebagai tikus-tikus cerdik berdasi yang menjadi perusak sistem administrasi di negeri planit bumi ini.
Khususnya di negeri Indonesia, semua paradigma dalam Sistem Administrasi Negara Indonesia, sangat begitu ironis. Begitu konprehensif, mulai dari hukum dan ketatanegaraan, hingga kelompok-kelompok agama berbaur dalam kancah politik negara yang sudah jelas dan pasti ! Berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kelompok Agama Islam yang besar dan kuat, menghujat kelompok Agama Islam lain yang kecil dan terisolasi. Hanya karena perbedaan-
perbedaan kecil yang sesungguhnya tidak perlu terjadi, apabila tidak diatur dan didramatisir oleh kepintaran dari keangkuhan manusia.
Tetapi Hukum Allah yang pasti, akan mengatur dan menentukan segala yang ada di alam semesta ini, termasuk keyakinan-keyakinan individu.Siapa di antara mereka yang benar-benar beriman kepada-Nya.
Bukan memperselisihkan suatu Kaidah Akidah dalam Ilmu Agama Islam. Belum pasti! Kelompok besar dan kuat, yang mengaku dirinya atau kelompoknya yang paling benar.
Sesungguhnya kebenaran itu adalah datangnya dari Hukum Allah dalam Ilmu Agama Islam, bukan hukum kebenaran dari sangkaan yang datang dari kelompok manusia yang bernuansa tahayul yang selalu memaksakan kehendak pribadi serta golongan.
Hukum Tata Negara Indonesia yang berazaskan Pancasila dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, itu kebebasan seluruh pemeluk agama apapun, khususnya pada pemeluk Agama Islam yang sudah berkembang dan tercerai-berai serta bernuansa konflik politik. Aku seorang rakyat jelata sangat memohon! Segeralah bersatu dengan teguh dalam segala perbedaan menurut keyakinan individu dan kelompok mereka yang berpegang kepada sila pertama di bawah naungan Bhineka Tunggal Ika.
Kelompok-kelompok Laskar Pembela Islam tetap memegang komitmen, bahwa perbedaan-perbedaan dalam agama, khususnya Agama Islam adalah sesuatu hal yang sangat wajar dan manusiawi. Janganlah dinodai oleh tindakan-tindakan anarkis yang tidak manusiawi.
Sedangkan kelompok mereka yang terhujat, teraniaya dan terusir adalah juga manusia yang mempunyai perasaan, nurani, dan keyakinan yang berbeda-beda, dan itulah fitrah Illahi yang hakiki.
Kehidupan mereka teraniaya, anak-anak mereka serta kerabat-kerabat mereka serasa hidup dalam kamp-kamp zaman Belanda dan Jepang tempo doeloe, bahkan mungkin lebih menyeramkan lagi. Mereka dihantui ketakutan serta kecemasan yang tak terhingga di negeri kelahirannya. Entah bagaimana nasib anak-anak bangsa.... dari hari ke hari............hingga..nanti... bila tidak diawali dengan mempersatukan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan sosial, politik, budaya, dan agama. Sesuai dengan sila ketiga Landasan Idiil Negara, yaitu Persatuan Indonesia.
Cimahi, 20 Mei 2008
Rabu, 09 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar